Mengenal Salaf السلف
Posted by Unknown
on Friday, March 14, 2014
0
Salafi sering kita mendendar kata Salafi tapi terkadang kita bingung akan tindakan dan tingkah laku
Ada tasyabbuh atau kesalahpahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakannya dengan tasalluf, berlagak seperti salaf. Misalnya, orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersurban, berpakaian serba putih, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Tidak hanya secara individual, tetapi sudah melahirkan gerakan salafi yang cenderung eksklusif.
Kata salaf secara bahasa semakna
dengan kata qabla, yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini
sering dilawankan dengan kata khalaf yang berarti yang
belakangan. Dalam perkembangannya, makna salaf menyempit untuk menyebut suatu
babakan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi
ajaran Islam atas periode sesudahnya. Bahkan, menurut Muhammad Said Ramadhani
Al Buth’i, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam,
yakni para sahabat, tabi’in, dan tabi’al tabi’in.
Pemahaman ini mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sebaik-baik kurun atau masa adalah masa saya (masa para sahabat), kemudian
yang mengikutinya (tabi’in), lalu yang mengikutinya (tabi’ al tabi’in).”
Pandangan seperti ini cukup
mendasar. Soalnya, periode tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi
Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang
dituangkan dalam Alquran dan hadis. Sudah selayaknya, jika kemudian generasi
sahabat sebagai pendamping setia Rasulullah lebih banyak mendengar langsung
ajaran Islam dari beliau.
Namun demikian, tiga dasawarsa
setelah wafatnya Rasulullah, umat Islam terbelah dalam partai-partai politik (al
firaq Al Islamiyah) yang kemudian mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam
teologi. Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik salaf. Mau
tidak mau, subjektivitas dan fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan
bagi setiap individu umat Islam. Jelas, hal ini mematahkan kadar objektivitas
dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf.
Dalam pandangan mayoritas ulama,
yakni kalangan Sunni generasi tabi’ al tabi’in dan para
pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf.
Sementara di pihak lain, kelompok Khawarij melihat hanya Khalifah Abu Bakar dan
Umar ibn Al Khaththab yang memiliki otoritas kesalafan. Pada Utsman dan Ali,
menurut mereka, sudah muncul penyimpangan-penyimpangan. Sedangkan, Syiah secara
tegas hanya mengakui otoritas kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Perpecahan umat semakin kusut.
Setiap kelompok mengklaim dirinyalah yang paling benar. Oleh karena itu,
sektarianisme tersebut segera dipangkas dengan merujuk pada sabda Rasulullah:
“Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku merupakan suatu rahmat.”
Maka, bisa dikatakan, salafiyah
dalam sejarah Islam dikenal sebagai aliran atau golongan keagamaan yang selalu
merujuk pada prototip al salaf al salih yang berpegang teguh
pada nilai-nilai luhur mereka yang bersumber pada Alquran dan hadis. Mereka
mencuat ke permukaan dalam kondisi ketika ada sebagian umat Islam ingin
memotong mata rantai bermazhab. Mereka di antaranya ditandai dengan sikap-sikaptasalluf yang
selalu menampilkan atribut-atribut salaf secara lahiriah, namun tidak mesti
memahami dan melaksanakan nilai-nilai ideal yang diwariskan para salafiyun
Persaudaraan lintas iman
Jika kita menelaah tahapan
pembentukan masyarakat yang dirintis oleh Nabi Muhammad, sebetulnya ada dua
periode historis, yakni periode Makiyah dan Madaniyah. Kedua periode ini
menandai tahapan-tahapan yang penting dilakukan para pembaharu masyarakat dalam
menegakkan nilai-nilai dan tradisi salafiyah dalam konteks kekinian.
Periode pertama berlangsung saat
Nabi Muhammad beserta pengikutnya tinggal di kota tempat kelahirannya, Makkah.
Periode ini berlangsung sekitar 13 tahun lamanya. Sungguhpun periode ini lebih
lama dari periode berikutnya, hasil yang dicapai Nabi Muhammad tidak sesukses
periode kedua. Selama kurun waktu 10 tahun lebih tersebut, konsentrasi penataan
masyarakat Arab melalui ajaran moralitas Islam ke arah masyarakat berperadaban
baru mencapai taraf transformasi sosial-budaya. Persaudaraan yang muncul pun
sebatas persaudaraan internal umat Islam. Mereka bergabung dalam
komunitas al sabiqun al awwalunyang berjumlah puluhan hingga
ratusan saja.
Sedangkan, pada periode Madaniyah,
peluang nabi Muhammad untuk membangun tatanan masyarakat majemuk semakin
terbuka, yakni dengan dikeluarkannya kesepakatan bersama antara umat Islam dan
Yahudi di Madinah yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Kandungan piagam
ini merupakan bagian dari upaya melapangkan jalan rekonsiliasi berbagai etnis,
agama, dan kelompok yang ada di Madinah saat itu. Ini penting untuk membangun
pranata sosial kemasyarakatan yang aman, damai dan sentosa. Oleh karena itu,
wajah Islam sejak saat itu semakin menampakkan dimensi fungsionalnya ketimbang
dimensi normatif dan formalitasnya.
Misi Islam kemudian ditutup dengan
peristiwa haji wada’ (haji perpisahan). Dalam peristiwa besar
tersebut, Rasulullah menyampaikan khutbahnya pada puncak ibadah haji saat itu.
Di antara isi khutbanya, beliau mengingatkan bahwa darah, harta, dan kehormatan
manusia sangat dimuliakan.
Isi khutbah tersebut menunjukkan
sikap tentang kesalafiyahan, yakni bahwa kesempurnaan keislaman seseorang
haruslah disertai pula dengan upaya penghormatan atas jiwa dengan menghindarkan
segala kekerasan. Ringkasnya, dalam konteks saat ini, penghormatan atas
nilai-nilai dan hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam
ajaran Islam. Padahal, nilai-nilai tersebut menjadi pilar penting bagi
pembentukan masyarakat sipil yang plural, yakni sebuah masyarakat yang dibangun
atas dasar persaudaraan lintas iman.
Meneladani karakter salaf
Ketulusan dan keikhlasan generasi
salaf merupakan satu kunci kesuksesan dahwah mereka. Refleksi hati yang tulus
ikhlas akan memancarkan kearifan dalam setiap pengambilan keputusan.
Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang sangat subjektif harus dibuang
jauh-jauh dalam pikiran dan langkah mereka. Tidak mengherankan, jika kemudian
mereka sering disebut-sebut sebagai salafuna al salih, generasi salaf
yang bijak. Karakter salafuna al salih tampak dari sikap
mereka ketika menyerap ilmu pengetahuan dan peradaban dari luar khazanah umat
Islam.
Dengan demikian, bisa disimpulkan
bahwa nilai-nilai salafiyah tidaklah terlepas dari kristalisasi penghargaan
ilmu sebagai sebuah sikap ilmiah, sebagai pantulan sikap tulus ikhlas, serta
sebagai sebuah refleksi sikap yang arif dan bijaksana. Singkatnya, salafiyah
merupakan cerminan generasi yang dinamis dan energik serta penampilan para
ilmuwan yang kritis dan lapang dada.
Wacana ilmiah mereka terlihat sejak
turunnya risalah Islam, saat Rasullullah menerima wahyu pertama kali di Gua
Hira. Perintah iqra melecut kaum Muslim yang tertinggal jauh
peradabannya dengan percaturan umat di dunia. Bukanlah suatu kebetulan, bila
Nabi Muhammad akhirnya mampu mengarahkan para sahabat dan komunitas umat Islam
pada sebuah transformasi ilmiah secara besar-besaran. Jazirah Arabia yang
dahulu gersang dengan peradaban baca tulis, dalam waktu relatif singkat telah
berubah menjadi masyarakat berperadaban tinggi. Kemudian kebudayaan umat Islam
mencapai suatu tingkat kosmopolitanisme dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa
di permukaan bumi ini.
Asimilasi atau adaptasi mereka
dengan berbagai bangsa secara ekonomi, sosial dan kultural tidaklah dipandang
sesuatu yang tabu dan haram. Namun, patut dicatat, semua upaya ini sekali-kali
tidaklah pernah bergeser sejengkalpun dari prinsip-prinsip dasar Islam.
Meskipun bergumul dengan aneka pemikiran dan tradisi budaya non-Muslim, mereka
tidak pernah melampaui pesan-pesan Alquran dan hadis.
Akhirnya, akumulasi sikap ilmiah,
dinamis dan energik pada kaum salaf ini membangkitkan sikap kritis dalam
menanggapi persoalan. Sikap ini misalnya, mereka buktikan dalam metode jarh
wa ta’dil sebagai sebuah metode kritik hadis yang belaku di kalangan
para ahli hadis. Sikap-sikap mulia dari salafiyah inilah yang akan mendukung
tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang kini menjadi idaman bagi segenap umat
manusia.
Ikhtisar
- Makna salaf telah merujuk pada
periode Rasulullah SAW hingga tabi’ al tabi’in.
- Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan kunci keberhasilan dakwah mereka.
- Generasi salaf mampu mengangkat peradaban Islam pada kosmopolitanisme peradaban dunia.
- Upaya generasi salaf untuk berdialog dengan peradaban lain tidak pernah sedikitpun bergeser dari pesan-pesan Alquran dan hadis.
- Ketulusan dan keikhlasan generasi salaf merupakan kunci keberhasilan dakwah mereka.
- Generasi salaf mampu mengangkat peradaban Islam pada kosmopolitanisme peradaban dunia.
- Upaya generasi salaf untuk berdialog dengan peradaban lain tidak pernah sedikitpun bergeser dari pesan-pesan Alquran dan hadis.
Tagged as: cikarang salafi, Kajian Assunnah Cikarang, kajian salafi cikarang, Salafi cikarang, salafy cikarang
About the Author
Ikuti Salaf Jauhi Salafi Wahabi
.
Get Updates
Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.
Share This Post
Related posts
0 comments: